Minat diskusi mahasiswa yang mulai terkikis
Minat Diskusi Mahasiswa Semakin Terkikis, Kewajiban Mahasiswa yang Semakin Terlupakan
OLEH : Desti Vallejo
Mahasiswa merupakan kaum Intelektual, karena memiliki gagasan dan aksi yang nyata. Melihat historisnya gagasan mahasiswa terangkum saat kebangkitan nasional 1908-1928 yang pada saat itu para cendekiawan menyadari bahwa perlawanan terhadap penjajah harus dengan persatuan yang kuat. Salah satu caranya yaitu melalui wadah organisasi. Salah satu tokoh cendekiawan bangsa ini Dokter Wahidin Sudirohusodo yang menganjurkan teman-temannya untuk mendirikan sebuah organisasi kebangsaan pertama yang bernama Budi Utomo dengan tujuan mempersatukan bangsa Indonesia, mencerdaskan bangsa Indonesia, dan mengusir penjajah dan mencapai Indonesia merdeka. Sementara aksi mahasiswa yang nyata terlukis pula dalam historis Indonesia ketika menumbangkan rezim Orde Lama tahun 1966 dan menggulingkan rezim Orde Baru 1998. Dari historis itulah guru terbesar yang selalu menjadi kaca agen perubahan social untuk mahasiswa Indonesia dari masa ke masa. sehingga banyak organ-organ ekstra dan intra yang membuktikan bentuk kekuatan demokrasi. Dalam setiap organisasi memiliki agenda-agenda khusus dan wajib. Seperti, membaca buku, diskusi, aksi, advokasi dsb, untuk penguatan ideologi, membentuk intelektualitas dan menanamkan pengetahuan yang luas kepada kader-kadernya. Namun dengan seiringnya perkembangan zaman yang semakin maju, minat mahasiswa terhadap hal-hal itu semakin sedikit jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, bahkan tidak sedikit pula mahasiswa tidak memahami kewajibannya sebagai mahasiswa yang dikenal sebagai Agen of Social Change (Agen Perubahan Sosial) atau tidak tau menau apa itu Tridharma Perguruan Tinggi. Massa rezim Orde Baru dengan massa Reformasi jelas sangat berbeda, pada waktu rezim Orde Baru musuh bersamanya jelas karena adanya intimidasi yang kuat dari atas sehingga banyak mahasiswa yang melakukan gerilya melalui diskusi-diskusi. Pada zaman sekarang kita liat saja arus globalisasi yang gila-gilaan, jadi memaksa mahasiswa ketularan budaya hedonis. Banyak dominasi dari luar yang mengakibatkan mahasiswa juga sifatnya lebih konsumtif, jadi itu yang bikin mahasiswa males, ada perbedaan lah. Jika dulu memang kita dipaksakan harus melawan. Tapi, sekarang kita seperti disodorkan sesuatu. Jadi seakan-akan tdak perlu kerja keras, tinggal hanya menikmati sesuatu. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri, jika kita lihat realitasnya demikianlah mayoritas mahasiswa di era globalisasi ini. Mahasiswa seperti dalam buaian kaum borjuis dan dinina-bobokan kaum elitis melalui mekanisme globalisasi untuk melemahkan eksistensinya. Mahasiswa layaknya memahami kewajibannya sebagai social control dan mengaplikasikan Tridharma Perguruan Tinggi, karena jika memahami hal tersebut mahasiswa dapat belajar apa yang harus dikeritisi terhadap para Wakil Rakyat dan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Artinya, tidak hanya belajar dikelas, ingin cepat lulus, dapet ijazah lalu dapet kerja. Harus ada banyak hal yang dilakukan mahasiswa untuk mencapai imagenya, pihak perguruan tinggi pun harus mengarahkan mahasiswanya, jangan sampai perguruan ini dijadikan untuk penyeragaman pola pikir, membatasi kreatifitas, justru pihak perguruan tinggi itu harus mendukung segala kegiatan mahasiswa yang tujuannya untuk mengekspresikan diri bukan membatasi. Idealnya mahasiswa saat ini harus lebih pintar, karena disisi lain banyak produk globalisasi yang mendukung. Perlu adanya penyadaran dari luar juga, seperti organ-organ yang memang bergelut di dunia diskusi, akademisi, gerakan, dan harus mempublikasikannya agar mahasiswa menyadari bahwa banyak hal yang lebih penting daripada jalan-jalan ke mall, nongkrong, pacaran, dan lain sebagainnya yang menjerumuskan mahasiswa pada kemalasan. Mahasiswa harus bisa melihat bahwa hari ini Univeritas kita orientasinya kemana? Keep University atau world class University saja? Jadi jika world classnya ikut andil dalam pengadvokasian Universitas terhadap masalah-masalah sosialisasi kedalam masyarakat ya fine-fine saja, tapi jika kemudian hanya ngejar Universitas dengan banyaknya tugas-tugas yang diberikan kepada mahasiswa juga sebenarnya institusi juga jangan terlalu menekankan kepada hal tersebut. Jika misalkan Universitas sedang dalam world class university, seharusnya juga tingkatan mahasiswanya muncul geliat untuk lebih aktif dalam menyikapi sosialisasi-sosialisasi kemasyarakatan, tapi ternyata itu tidak terjadi, berbanding terbalik dengan misi Universitas yang lebih menuntut kepada kesetaraan Internasional. Seharusnya mahasiswa itu lebih banyak mendapatkan ilmu dari baca buku kan?, 30% dari diskusi dan 25% itu dari bangku kuliah, dan saya yakin dibangku kuliah mahasiswa hanya mendengarkan dosen. Dan yang paling penting itu profesionalitas dalam membagi porsi dalam pembelajaran mahasiswa, harus mengarahkan pembelajaran mahasiswa itu harus professional. Universitas sebaiknya dapat demikian dalam memberikan pembelajaran, ditegaskan banyak membaca buku, mengikuti diskusi, dan mengarahkan pada kegiatan-kegiatan yang membuat mahasiswa itu bergerak diluar kampus. Pihak Universitas harus memberikan banyak peluang kepada mahasiswa untuk keikut sertaan dalam diskusi-diskusi yang dilaksanakan oleh organisasi-organisasi ekstra, intra maupun primordial. Karena jika hanya pembelajaran dalam kelas saya rasa mahasiswa tidak dapat mengembangkan karakteristiknya sebagai mahasiswa.
Hidup Mahasiswa..!
Cerdas, militan, merakyat..!!
Salam pembebasan nasional..!!
Komentar
Posting Komentar